Kapitalisme Digital dan Relevansi Pemikiran Marx
Pendahuluan
Kita mengenal Marx sebagai tokoh sosialis. Dalam bukunya Das Capital, Marx memulai dengan pembahasan mengenai komoditas dan mengkritisi sistem kapitalisme. Bukan tanpa alasan ketika Marx membahas tentang kapitalisme, hal ini mengusik rasa keadilannya tentang eksploitasi yang berujung pada ketimpangan sosial dan ekonomi. Artikel ini mencoba membahas relevansi pemikiran Karl Marx dalam konteks ekonomi digital kontemporer. Dengan merujuk pada konsep-konsep utama Marx seperti nilai lebih, alienasi, dan konsentrasi kapital, tulisan ini menunjukkan bagaimana platform digital menciptakan bentuk baru dari eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tentu saja ini merupakan tulisan bebas yang mengambil beberapa sumber sebagai bahan eksplorasi. Tulisan inipun muncul karena melihat fenomena saat ini dan mencoba untuk berdiskusi secara imaginer seandainya Marx ada dijaman digitai ini. Data terkini tentang konsentrasi kekayaan dan ketidaksetaraan digital digunakan untuk mendukung argumen, dengan menyarankan bahwa kritik Marx terhadap kapitalisme tetap relevan, bahkan semakin mendesak, di era algoritma dan big data.
Nilai Lebih dan Kapitalisme Digital
Karl Marx (1867) dalam Das Kapital mengembangkan kritik radikal terhadap sistem kapitalisme, dengan menekankan bagaimana nilai lebih (surplus value) yang dihasilkan pekerja dieksploitasi oleh pemilik alat produksi. Meskipun sering diasosiasikan secara negatif dengan negara-negara komunis, pemikiran Marx tetap menjadi rujukan penting dalam memahami relasi kuasa dalam ekonomi. Era digital hari ini justru memperlihatkan bagaimana bentuk-bentuk baru dari kapitalisme memperkuat kembali kritik klasik Marx. Kapitalisme saat ini bukan hanya tentang penguasan barang berupa produk fisik tetapi juga non fisik. Tangible dan non tangible. Aset di era digital saat ini dapat saja menjadi sesuatu yang tak berwujud, data merupakan aset yang penting dan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Marx menekankan bahwa nilai ekonomi diciptakan dari kerja, dan akumulasi kapital berasal dari pengambilan nilai lebih oleh kelas kapitalis (Marx, 1867). Dalam konteks platform digital, nilai lebih tidak lagi diambil dari buruh pabrik, tetapi dari data, atensi, dan kerja digital para pengguna platform. Scholz (2013) menyebut fenomena ini sebagai “digital labor”, yaitu kerja tidak berbayar yang justru menciptakan nilai ekonomi besar bagi korporasi teknologi. Salah satu contoh saat ini yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita adalah para konten kreator dari berbagai aplikasi media sosial yang memperoleh pendapatan dari konten yang mereka buat. Imbal hasil yang luar biasa dari pemilik platform ke para konten kreator menjadikan profesi ini sangat diminati, namun apakah kita tahu bahwa terjadi pembayaran yang fair atas usaha yang dilakukan? Era algoritma saat ini menjadi pentas bisnis yang luar biasa bagi pemilik modal dibidang tekhnologi. Di era semua serba digital, pemilik aplikasi yang di download ratusan juta orang mampu menjalankan hukum kapitalisme dengan mudah. Metadata dan algoritma menjadi komoditas yang dapat men-drive kekuasaan atas apa yang layak dan tidak layak berdasarkan kepentingan. Kaum pengguna ibarat buruh. Konsep alienasi Marx menjelaskan keterasingan buruh dari hasil kerjanya, dari proses produksi, dari sesama, dan dari dirinya sendiri (Marx, 1844). Dalam dunia digital, keterasingan ini muncul dalam bentuk: • Ketergantungan pada algoritma yang tidak transparan. Hal ini mudah dikendalikan dan di shutdown sesuai keinginan pemiliki kapital. Contohnya berita tentang Palestina dan aksi boikot telah dishutdown di beberapa aplikasi media sosial karena efeknya yang masif terhadap kemanusiaan dan moral. • Kehidupan sosial yang digantikan dengan validasi digital (likes, views). Hal ini sudah mempengaruhi psikologis untuk terus memberi makan ego dengan likes dan views sebagai ukuran kesuksesan. Bahkan kreativitas diarahkan demi monetisasi dan algoritma platform sehingga apapun dilakukan, baik atau buruk demi monetisasi dan menaikkan algoritma. Kapitalisme digital menciptakan ilusi partisipasi—pengguna merasa memiliki kebebasan berekspresi dan kendali, padahal platform mengarahkan, mengawasi, dan memonetisasi setiap aktivitas. Platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok memberi impresi bahwa "setiap orang bisa jadi bintang", namun kenyataannya hanya segelintir yang benar-benar diuntungkan secara signifikan.
Fetishisme Komoditas dalam Kapitalisme Digital: Sebuah Pembacaan Kritis
Karl Marx dalam Das Kapital (1867) memperkenalkan konsep fetishisme komoditas, yakni kecenderungan masyarakat kapitalis untuk memperlakukan produk (komoditas) seolah memiliki nilai intrinsik, padahal nilainya berasal dari relasi sosial dan kerja manusia yang menciptakannya. Dalam sistem kapitalisme, relasi antar manusia disamarkan menjadi relasi antar benda. Di era digital, konsep ini justru menemukan bentuk-bentuk baru yang semakin kompleks namun tersembunyi. Fetishisme di sini adalah kepercayaan bahwa teknologi itu netral dan meritokratis, padahal dibangun di atas sistem yang menguntungkan segelintir kapitalis digital. Berikut ini adalah perluasan atas tiga bentuk fetishisme digital yang relevan saat ini: 1. Objek Digital sebagai Simbol Status Objek digital seperti NFT (Non-Fungible Token), jumlah followers, skin game eksklusif, atau bahkan verified badge di media sosial telah menjadi simbol status sosial dan ekonomi. Mereka tampak memiliki nilai “alami” atau “inheren” di mata publik, padahal nilainya terbentuk dari konstruksi sosial, ekonomi pasar digital, dan algoritma platform. Contoh: Sebuah NFT bisa bernilai jutaan dolar bukan karena material atau fungsinya, melainkan karena kelangkaan digital yang dikonstruksi oleh platform dan komunitas. Nilai itu berasal dari jaringan sosial, teknologi blockchain, dan narasi pemasaran—bukan dari nilai kegunaan riil. Analogi Marx: Seperti halnya sepatu dalam kapitalisme industri tidak dihargai karena fungsinya melindungi kaki, melainkan karena nilai tukarnya di pasar, NFT atau skin game dinilai dari kelangkaan dan prestise digital yang dibentuk. 2. Relasi Sosial yang Dikomodifikasi Dalam kapitalisme digital, interaksi sosial yang alami diubah menjadi data kuantitatif: jumlah likes, retweets, views, komentar, dan waktu tayang. Nilai dari sebuah hubungan manusia menjadi tergantung pada performanya dalam metrik platform, bukan kedalaman atau keaslian relasi itu sendiri. Contoh: Persahabatan atau popularitas diukur dengan metrik kuantitatif yang menjadi komoditas untuk dijual kepada pengiklan atau untuk memonetisasi konten. Ini mencerminkan “komodifikasi hubungan sosial”, di mana interaksi manusia menjadi sarana produksi data dan nilai ekonomi, tanpa disadari oleh pelakunya. 3. Ketidaktahuan Terhadap Kerja Digital di Balik Layar Mayoritas pengguna internet tidak menyadari keberadaan para pekerja moderator konten, pengklasifikasi data, atau pemeriksa algoritma bias. Mereka bekerja dalam kondisi rentan, upah rendah, dan sering mengalami trauma psikologis karena harus menyaring konten ekstrem. Contoh: Pekerja lepas di Filipina atau Kenya menyaring ribuan video kekerasan dan ujaran kebencian untuk platform global seperti Facebook dan TikTok, tapi nama mereka tak pernah disebut. Yang dikenal publik hanyalah "AI" atau "otomatisasi". Di sinilah fetishisme algoritma bekerja: publik mengira bahwa kecerdasan buatan bekerja secara mandiri dan adil, padahal ia bergantung pada kerja manusia yang tak kasat mata, sering kali dieksploitasi.Ketimpangan Digital: Konsentrasi Modal Baru
Menurut laporan Survival of the Richest dari Oxfam (2023), sejak tahun 2020, 1% individu terkaya di dunia telah menguasai hampir dua pertiga (63%) dari kekayaan baru global senilai $42 triliun. Ini berarti bahwa kelompok kecil ini memperoleh hampir dua kali lipat dari kekayaan yang didapatkan oleh 99% populasi dunia lainnya. Sektor teknologi menjadi kontributor utama dalam konsentrasi kekayaan ini. Perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Apple, Google, dan Meta telah mencatatkan pertumbuhan nilai pasar yang signifikan, terutama selama pandemi COVID-19. Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh peningkatan ketergantungan masyarakat pada layanan digital untuk bekerja, berbelanja, dan berkomunikasi. Selain itu, laporan Oxfam juga menunjukkan bahwa banyak kekayaan baru yang diperoleh oleh miliarder berasal dari sektor teknologi, di mana monopoli pasar dan kekuatan platform digital memainkan peran besar dalam akumulasi kekayaan ini.Kesimpulan
Pemikiran Karl Marx memberikan alat analisis yang tetap relevan dalam membedah kapitalisme digital. Ketimpangan ekonomi, alienasi sosial, dan konsentrasi kekuasaan dalam segelintir entitas digital adalah bentuk baru dari kontradiksi kapitalisme yang dahulu telah diprediksi Marx. Maka, studi ekonomi digital perlu memasukkan kembali teori kritis dalam analisisnya, agar tidak terjebak pada glorifikasi teknologi dan inovasi tanpa memperhatikan struktur kekuasaan yang menyertainya. Dalam konteks ini, Marx mengajarkan kita untuk “melihat yang tak terlihat”—yaitu relasi sosial di balik objek digital, kerja manusia di balik algoritma, dan eksploitasi yang dibungkus dengan hiburan atau kenyamanan digital. Kapitalisme digital menyembunyikan kerja dan relasi produksi dengan lebih efektif dibanding sistem industri klasik.Daftar Referensi
• Fuchs, C. (2014). Digital Labour and Karl Marx. Routledge. • Marx, K. (1844). Economic and Philosophic Manuscripts. • Marx, K. (1867). Das Kapital. • Marx, K. (1867). Capital: A Critique of Political Economy. • Oxfam International. (2023). Survival of the Richest Report. • Oxfam International. (2023). Survival of the Richest: How we must tax the super-rich now to fight inequality. • Scholz, T. (2013). Digital Labor: The Internet as Playground and Factory. Routledge. • Srnicek, N. (2017). Platform Capitalism. Polity Press. • Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.


