Sabtu, 19 April 2025

Kapitalisme Digital dan Relevansi Pemikiran Marx

Pendahuluan

Kita mengenal Marx sebagai tokoh sosialis. Dalam bukunya Das Capital, Marx memulai dengan pembahasan mengenai komoditas dan mengkritisi sistem kapitalisme. Bukan tanpa alasan ketika Marx membahas tentang kapitalisme, hal ini mengusik rasa keadilannya tentang eksploitasi yang berujung pada ketimpangan sosial dan ekonomi. Artikel ini mencoba membahas relevansi pemikiran Karl Marx dalam konteks ekonomi digital kontemporer. Dengan merujuk pada konsep-konsep utama Marx seperti nilai lebih, alienasi, dan konsentrasi kapital, tulisan ini menunjukkan bagaimana platform digital menciptakan bentuk baru dari eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tentu saja ini merupakan tulisan bebas yang mengambil beberapa sumber sebagai bahan eksplorasi. Tulisan inipun muncul karena melihat fenomena saat ini dan mencoba untuk berdiskusi secara imaginer seandainya Marx ada dijaman digitai ini. Data terkini tentang konsentrasi kekayaan dan ketidaksetaraan digital digunakan untuk mendukung argumen, dengan menyarankan bahwa kritik Marx terhadap kapitalisme tetap relevan, bahkan semakin mendesak, di era algoritma dan big data.

Nilai Lebih dan Kapitalisme Digital

Karl Marx (1867) dalam Das Kapital mengembangkan kritik radikal terhadap sistem kapitalisme, dengan menekankan bagaimana nilai lebih (surplus value) yang dihasilkan pekerja dieksploitasi oleh pemilik alat produksi. Meskipun sering diasosiasikan secara negatif dengan negara-negara komunis, pemikiran Marx tetap menjadi rujukan penting dalam memahami relasi kuasa dalam ekonomi. Era digital hari ini justru memperlihatkan bagaimana bentuk-bentuk baru dari kapitalisme memperkuat kembali kritik klasik Marx. Kapitalisme saat ini bukan hanya tentang penguasan barang berupa produk fisik tetapi juga non fisik. Tangible dan non tangible. Aset di era digital saat ini dapat saja menjadi sesuatu yang tak berwujud, data merupakan aset yang penting dan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Marx menekankan bahwa nilai ekonomi diciptakan dari kerja, dan akumulasi kapital berasal dari pengambilan nilai lebih oleh kelas kapitalis (Marx, 1867). Dalam konteks platform digital, nilai lebih tidak lagi diambil dari buruh pabrik, tetapi dari data, atensi, dan kerja digital para pengguna platform. Scholz (2013) menyebut fenomena ini sebagai “digital labor”, yaitu kerja tidak berbayar yang justru menciptakan nilai ekonomi besar bagi korporasi teknologi. Salah satu contoh saat ini yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita adalah para konten kreator dari berbagai aplikasi media sosial yang memperoleh pendapatan dari konten yang mereka buat. Imbal hasil yang luar biasa dari pemilik platform ke para konten kreator menjadikan profesi ini sangat diminati, namun apakah kita tahu bahwa terjadi pembayaran yang fair atas usaha yang dilakukan? Era algoritma saat ini menjadi pentas bisnis yang luar biasa bagi pemilik modal dibidang tekhnologi. Di era semua serba digital, pemilik aplikasi yang di download ratusan juta orang mampu menjalankan hukum kapitalisme dengan mudah. Metadata dan algoritma menjadi komoditas yang dapat men-drive kekuasaan atas apa yang layak dan tidak layak berdasarkan kepentingan. Kaum pengguna ibarat buruh. Konsep alienasi Marx menjelaskan keterasingan buruh dari hasil kerjanya, dari proses produksi, dari sesama, dan dari dirinya sendiri (Marx, 1844). Dalam dunia digital, keterasingan ini muncul dalam bentuk: • Ketergantungan pada algoritma yang tidak transparan. Hal ini mudah dikendalikan dan di shutdown sesuai keinginan pemiliki kapital. Contohnya berita tentang Palestina dan aksi boikot telah dishutdown di beberapa aplikasi media sosial karena efeknya yang masif terhadap kemanusiaan dan moral. • Kehidupan sosial yang digantikan dengan validasi digital (likes, views). Hal ini sudah mempengaruhi psikologis untuk terus memberi makan ego dengan likes dan views sebagai ukuran kesuksesan. Bahkan kreativitas diarahkan demi monetisasi dan algoritma platform sehingga apapun dilakukan, baik atau buruk demi monetisasi dan menaikkan algoritma. Kapitalisme digital menciptakan ilusi partisipasi—pengguna merasa memiliki kebebasan berekspresi dan kendali, padahal platform mengarahkan, mengawasi, dan memonetisasi setiap aktivitas. Platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok memberi impresi bahwa "setiap orang bisa jadi bintang", namun kenyataannya hanya segelintir yang benar-benar diuntungkan secara signifikan.

Fetishisme Komoditas dalam Kapitalisme Digital: Sebuah Pembacaan Kritis

Karl Marx dalam Das Kapital (1867) memperkenalkan konsep fetishisme komoditas, yakni kecenderungan masyarakat kapitalis untuk memperlakukan produk (komoditas) seolah memiliki nilai intrinsik, padahal nilainya berasal dari relasi sosial dan kerja manusia yang menciptakannya. Dalam sistem kapitalisme, relasi antar manusia disamarkan menjadi relasi antar benda. Di era digital, konsep ini justru menemukan bentuk-bentuk baru yang semakin kompleks namun tersembunyi. Fetishisme di sini adalah kepercayaan bahwa teknologi itu netral dan meritokratis, padahal dibangun di atas sistem yang menguntungkan segelintir kapitalis digital. Berikut ini adalah perluasan atas tiga bentuk fetishisme digital yang relevan saat ini: 1. Objek Digital sebagai Simbol Status Objek digital seperti NFT (Non-Fungible Token), jumlah followers, skin game eksklusif, atau bahkan verified badge di media sosial telah menjadi simbol status sosial dan ekonomi. Mereka tampak memiliki nilai “alami” atau “inheren” di mata publik, padahal nilainya terbentuk dari konstruksi sosial, ekonomi pasar digital, dan algoritma platform. Contoh: Sebuah NFT bisa bernilai jutaan dolar bukan karena material atau fungsinya, melainkan karena kelangkaan digital yang dikonstruksi oleh platform dan komunitas. Nilai itu berasal dari jaringan sosial, teknologi blockchain, dan narasi pemasaran—bukan dari nilai kegunaan riil. Analogi Marx: Seperti halnya sepatu dalam kapitalisme industri tidak dihargai karena fungsinya melindungi kaki, melainkan karena nilai tukarnya di pasar, NFT atau skin game dinilai dari kelangkaan dan prestise digital yang dibentuk. 2. Relasi Sosial yang Dikomodifikasi Dalam kapitalisme digital, interaksi sosial yang alami diubah menjadi data kuantitatif: jumlah likes, retweets, views, komentar, dan waktu tayang. Nilai dari sebuah hubungan manusia menjadi tergantung pada performanya dalam metrik platform, bukan kedalaman atau keaslian relasi itu sendiri. Contoh: Persahabatan atau popularitas diukur dengan metrik kuantitatif yang menjadi komoditas untuk dijual kepada pengiklan atau untuk memonetisasi konten. Ini mencerminkan “komodifikasi hubungan sosial”, di mana interaksi manusia menjadi sarana produksi data dan nilai ekonomi, tanpa disadari oleh pelakunya. 3. Ketidaktahuan Terhadap Kerja Digital di Balik Layar Mayoritas pengguna internet tidak menyadari keberadaan para pekerja moderator konten, pengklasifikasi data, atau pemeriksa algoritma bias. Mereka bekerja dalam kondisi rentan, upah rendah, dan sering mengalami trauma psikologis karena harus menyaring konten ekstrem. Contoh: Pekerja lepas di Filipina atau Kenya menyaring ribuan video kekerasan dan ujaran kebencian untuk platform global seperti Facebook dan TikTok, tapi nama mereka tak pernah disebut. Yang dikenal publik hanyalah "AI" atau "otomatisasi". Di sinilah fetishisme algoritma bekerja: publik mengira bahwa kecerdasan buatan bekerja secara mandiri dan adil, padahal ia bergantung pada kerja manusia yang tak kasat mata, sering kali dieksploitasi.

Ketimpangan Digital: Konsentrasi Modal Baru

Menurut laporan Survival of the Richest dari Oxfam (2023), sejak tahun 2020, 1% individu terkaya di dunia telah menguasai hampir dua pertiga (63%) dari kekayaan baru global senilai $42 triliun. Ini berarti bahwa kelompok kecil ini memperoleh hampir dua kali lipat dari kekayaan yang didapatkan oleh 99% populasi dunia lainnya. Sektor teknologi menjadi kontributor utama dalam konsentrasi kekayaan ini. Perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Apple, Google, dan Meta telah mencatatkan pertumbuhan nilai pasar yang signifikan, terutama selama pandemi COVID-19. Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh peningkatan ketergantungan masyarakat pada layanan digital untuk bekerja, berbelanja, dan berkomunikasi. Selain itu, laporan Oxfam juga menunjukkan bahwa banyak kekayaan baru yang diperoleh oleh miliarder berasal dari sektor teknologi, di mana monopoli pasar dan kekuatan platform digital memainkan peran besar dalam akumulasi kekayaan ini.

Kesimpulan

Pemikiran Karl Marx memberikan alat analisis yang tetap relevan dalam membedah kapitalisme digital. Ketimpangan ekonomi, alienasi sosial, dan konsentrasi kekuasaan dalam segelintir entitas digital adalah bentuk baru dari kontradiksi kapitalisme yang dahulu telah diprediksi Marx. Maka, studi ekonomi digital perlu memasukkan kembali teori kritis dalam analisisnya, agar tidak terjebak pada glorifikasi teknologi dan inovasi tanpa memperhatikan struktur kekuasaan yang menyertainya. Dalam konteks ini, Marx mengajarkan kita untuk “melihat yang tak terlihat”—yaitu relasi sosial di balik objek digital, kerja manusia di balik algoritma, dan eksploitasi yang dibungkus dengan hiburan atau kenyamanan digital. Kapitalisme digital menyembunyikan kerja dan relasi produksi dengan lebih efektif dibanding sistem industri klasik.

Daftar Referensi

• Fuchs, C. (2014). Digital Labour and Karl Marx. Routledge. • Marx, K. (1844). Economic and Philosophic Manuscripts. • Marx, K. (1867). Das Kapital. • Marx, K. (1867). Capital: A Critique of Political Economy. • Oxfam International. (2023). Survival of the Richest Report. • Oxfam International. (2023). Survival of the Richest: How we must tax the super-rich now to fight inequality. • Scholz, T. (2013). Digital Labor: The Internet as Playground and Factory. Routledge. • Srnicek, N. (2017). Platform Capitalism. Polity Press. • Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.

Sabtu, 20 Juni 2020

WISATA VIRTUAL KOTA AMBON
Semalam saya ikut wisata virtual Kota Ambon yang diadakan salah satu komunitas wisata di Jakarta via Zoom. Biayanya cuma Rp.35.000,- . Kenapa pilih kota Ambon? Kan saya tinggal di Ambon? Wisata kok di daerah sendiri? Hehehe...penasaran saya receh kok... 1. Saya ingin tau seperti apa sih wisata virtual? 2. Saya ingin melihat perspektif Ambon dari tour guide yang bermukim di luar Ambon (bukan orang Ambon) 3. Saya ingin tau pesertanya dari mana aja (ini penting). Selama 2 jam, kami di "guide" tentang berbagai hal. Mulai dari geografis Ambon dan Maluku, berapa jam penerbangan dari Jakarta ke Ambon, transportasi dari bandara ke kota Ambon, ikon sentral kota Ambon, tempat wisata sekitar kota Ambon, akomodasi terdekat di pusat kota, kuliner di kota Ambon (tempat ngopi, nasi kuning bagadang dan rujak natsepa), hingga akhirnya peserta diajak menyeberang ke Banda Naira. Jumlah peserta wisata virtual tadi malam 15 orang. Ada peserta dari Palembang, Medan, Bekasi, Tangerang dan Jakarta. Antusias peserta juga terlihat dari pertanyaan yang diajukan. Mengejutkan...saya senang karena mereka bersemangat. Bayangkan jika semangat ini menjadi kunjungan nyata saat pandemi usai. Saya tidak mau membahas tentang materinya karena pasti sudah saya kuasai semua 😁😁😜😜. Saya ingin fokus tentang bagaimana pegiat wisata harus tetap kreatif di masa pandemi seperti ini. Pariwisata menjadi sektor yang paling awal terdampak covid dan bangkit paling akhir saat covid berlalu. Sudah waktunya konsep pariwisata berkelanjutan sedikit "ditambah". Pariwisata berkelanjutan bukan hanya tentang lingkungan, pengunjung dan community, tetapi juga tentang pegiat wisata. Mitigasi pariwisata harus menjadi perhatian dari pusat hingga daerah. Pariwisata bukan hanya akan terganggu karena bencana alam, bencana politik, bencana sosial, namun juga bencana kesehatan seperti saat ini. Kembali ke Maluku. Saya berpendapat, jika "menjual" Maluku dapat dilakukan oleh orang diluar Maluku...mengapa kita tidak bisa? Teman-teman saya pegiat pariwisata cukup banyak, mereka juga kreatif dan kadang berpikir out of the box. Saya yakin mereka merindukan moment menemani tamu. Tagline mereka, datang sebagai tamu, pulang sebagai saudara. Karena pandemi tampaknya tagline harus dirubah sedikit "Join sebagai peserta, datang sebagai saudara". 😁 Semoga saat Covid berlalu, mereka yang ikut wisata virtual akan mewujudkan rasa penasaran mereka untuk berkunjung ke Maluku. #wisatamaluku #pariwisatamaluku #wisatavirtual

Rabu, 13 Juni 2018

Catatan Kecil Untuk Pariwisata Maluku

Beberapa waktu belakangan ini, sering ngumpul dengan teman-teman komunitas yang concern dengan pariwisata. Mereka berkunjung ke tempat-tempat keren di Indonesia, mereka melihat, mereka mengamati, mereka membandingkan dan mereka mengambil kesimpulan kalau negeri Maluku ini jauh lebih indah. Semuanya berawal dari keresahan mereka terhadap kondisi pariwisata di Maluku. Tidak hanya resah, mereka memutuskan bertindak. Niat mereka baik, luar biasa, bergelora. Keresahan yang wajar dan memang sudah seharusnya. Keresahan yang menjadi pemantik. Berharap suatu saat api semangat mereka membakar negeri para raja ini.

Alasan Klasik

Membangun sektor pariwisata bukanlah pekerjaan sulap satu dua tahun simsalabim. Bahkan untuk satu periode kepemimpinan kepala daerah mungkin belum cukup untuk membenahi seluruh permasalahan di sektor yang multi kompleks ini. Sektor ini roadmapnya jangka panjang. Banyak hal yang perlu dilakukan bersamaan antar instansi, antar sektor, antar kepentingan. Sektor ini butuh koordinasi dari hulu ke hilir, bawah ke atas, kanan ke kiri. Banyak yang berharap pada Dinas. Dinas berharap pada anggaran (selalu seperti itu). Anggaran menjadi alasan klasik setiap ditanya kenapa kita tertinggal. Masyarakat memiliki harapan yang sangat besar dan pemerintah belum memberikan solusi terbaik. Ketika berbicara tentang peran dalam sektor pariwisata, maka pemerintah memegang peranan yang krusial. Sebagai regulator dan fasilitator, sektor ini seharusnya menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Pemerintah daerah bukannya tidak berbuat apa-apa. Strategi pemasaran pariwisata sudah dilakukan. Promosi sudah dijalankan dengan baik, event wisata pun sudah puluhan yang diselenggarakan, pemeran dan eksebisi tiap tahun di luar negeri. Dengan upaya yang sudah maksimal seperti itu seharusnya jumlah wisatawan meningkat setiap tahun. Kenyataannya kunjungan wisatawan makin hari makin menurun. Ada yang salah? Ya mungkin saja…. Instrospeksi? Nanti dulu… mindsetnya selama ini adalah anggaran masih dianggap sebagai faktor utama penggerak sektor pariwisata. Selama anggaran masih belum naik yaaa pengelolaan pariwisata akan kurang maksimal (ngeleess) 

Efektifitas Event Wisata

Maluku ini indah. Begitu yang selalu dibilang orang. Untuk mengenalkan keindahannya kita harus mempromosikan destinasi ini agar lebih dikenal orang dan bersedia untuk berkunjung. Salah satu bentuk promosi Maluku adalah melalui event berskala daerah, nasional bahkan internasional. Selama ini, Dinas Pariwisata mengeluarkan calender of event yang berisi puluhan event yang akan dilaksanakan selama setahun. Hampir keseluruhan event telah dilaksanakan bertahun-tahun sebagai event reguler. Tahun 2018 terdapat 23 event yang akan diselenggarakan di Maluku. Itu baru event wisata, belum termasuk event MICE dan seremonial-seremonial lainnya. Banyak penelitian tentang efektifitas event. ada yang mengukur secara jangka pendek, namun Dimanche, Holmes dan Shamsuddin lebih setuju jika efektifitasnya diukur dalam jangka panjang. Saat ini, event yang dilaksanakan sudah lebih dari lima tahun seharusnya efektifitas event sudah dapat diukur. Anggaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jangan ditanya. Efektifkah? Entahlah, mungkin yang menjadi catatan adalah indikator keberhasilan event. Apakah indikatornya hanya sekedar “terselenggara” dan “selesai” dengan baik (aman). Adakah review setelah event? Pasti ada… indikatornya apa? Banyaknya peserta? Banyaknya tamu? Banyaknya artis yang didatangkan? Banyaknya anggaran yang dikeluarkan? Banyaknya review pada google? Banyaknya word of mouth? Tingginya loyalitas? Entahlah… saya bertanya, siapa yang nanti menjawab? 

Kerjasama Pentahelix

Ada kata pamungkas dalam pariwisata yaitu “pentahelix”. Terdiri dari lima unsur yaitu pemerintah, bisnis, akademisi, komunitas dan media. Jika kelima unsur ini bersinergi maka pariwisata Maluku yang maju akan dengan mudah dicapai. Kenyataannya? Sinergitas kelima unsur ini seperti air dan minyak. Ada yang merasa superior dibandingkan yang lain. Ada yang merasa sudah bekerja maksimal dibandingkan yang lain, ada yang berpendapat kalau yang lain hanya berwacana, ada pula yang menilai salah satu unsur hanyalah jago teori, ada yang egois dan menuntut terlalu banyak. Semuanya pernah duduk bersama tetapi mungkin masih belum saling terbuka. Kelima unsur terkait ini butuh lebih dari chemistry, tetapi perasaan saling membutuhkan satu sama lain. Perasaan terikat bahwa satu adalah bagian dari yang lain. Siapa yang harus memulai? Pemerintah daerah sesuai fungsinya haruslah memfasilitasi, merangkul, mensupport, meminta masukan, terbuka akan saran dan saling mengisi dengan keempat unsur lainnya. Jika egosentris berkembang maka akan sulit mencari solusi terhadap permasalahan pariwisata yang kian kompleks. Daerah lain sudah berlari jauh dan kita masih saling sibuk tepuk dada merasa paling punya hajat.

Strategi Pemasaran Pariwisata Maluku

Jelaslah bahwa pemasaran destinasi tidak sama dengan pemasaran produk ataupun jasa. pemasaran destinasi lebih kompleks dan berhubungan dengan lebih banyak pihak ketiga. Ada banyak kepentingan dan stake holder yang terlibat di dalamnya. Apakah strategi pemasaran semakin baik setiap tahun? Jika memang iya, apakah jumlah wisatawan meningkat? Jika terjadi anomali, apakah sudah direvisi strategi yang dilakukan selama ini? Banyak support untuk apa yang sudah dilakukan selama ini. Selain ikut pameran hingga diluar negeri, eksebisi hingga eropa, promosi hingga mancanegara… Saat ini masyarakat menyorot hal-hal kecil sebagai bentuk kepedulian. Kenapa berpromosi hingga Belanda jika negara yang didatangi jumlah turisnya sangat sedikit? Jikapun datang ke Maluku, bukan karena faktor pemilihan Maluku sebagai destinasi favorit tetapi sebagai daerah yang memiliki ikatan sejarah serta emosional. Sudahkan pemerintah daerah melihat data terbaru tentang jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia? Dari negara manakah yang terbanyak? Sudahkan disegmentasikan? Sudahkan membangun hub antar destinasi?. JIka selama ini melakukan benchmarking apakah sudah apple to apple? jangan-jangan studi bandingnya apple ke pineapple (kidding :)) Selain itu, jangan anggap sepele keingintahuan masyarakat yang kritis terhadap delegasi yang diboyong keluar negeri. Kriteria terpilih mewakili Maluku itu apa? Sudahkan dinas pariwisata memaparkan dengan jelas sehingga tidak terjadi kecurigaan karena yang berangkat itu lagi-itu lagi. Jika semuanya jelas, terang benderang maka masyarakat akan memaklumi setiap kebijakan terkait hal ini.

(Bersambung…) Ambon, 13 Juni 2018.

Sabtu, 03 Februari 2018

PARIWISATA MALUKU, SADAR DARI PINGSAN

Pariwisata adalah topik yang sexy. Hal ini terbukti pada Forum Diskusi Bulanan perdana Forum Dosen Indonesia Maluku (FDI) yang diselenggarakan tanggal 02 February 2018. Banyak pihak yang merasa tertarik, berkepentingan dan kurang puas dengan pengelolaan pariwisata Maluku. Banyak tertinggal seharusnya membuat kita rakyat Maluku sadar bahwa selama ini ada potensi luar biasa yang kita pandang sebelah mata. Ada perhiasan alam yang kita anggap biasa karena kita terbiasa.

Berbicara Maluku adalah berbicara suatu daerah yang memiliki semua indikator tentang keindahan ciptaan Tuhan. Dan berbicara tentang pengelolaan pariwisata bukanlah tentang program simsalabim yang dapat merubah peran Maluku menjadi pemain pariwisata tingkat dunia. Butuh berpuluh-puluh tahun dan usaha maksimal dari semua pihak -stakeholder- didaerah ini. Saat ini, bukan lagi zamannya ego sektoral dikedepankan. Semua pihak harus mulai menyadari, memahami dan berkontribusi jika ingin menjadi bagian dari sektor penghasil devisa terbesar nomor dua di Indonesia.

Pemasaran sebuah kota/wilayah saat ini dilakukan sebagai implikasi dari UU otonomi daerah No.32/2004 yang mengarahkan daerah supaya lebih kreatif dalam pengelolaan aset daerah termasuk pariwisata. Setelah era ekonomi digital, arus informasi mengalir deras dan mulai dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran daerah. Dibeberapa daerah, Pariwisata telah ditetapkan menjadi sektor unggulan dan dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan PAD. Tak dapat dipungkiri bahwa, keseriusan dalam mengelola “bisnis kebahagiaan” ini sangat berdampak pada sektor lainnya. Multiply effect yang luar biasa dari sektor pariwisata sangat berpengaruh dalam mengangkat sektor lainnya menggerakkan roda ekonomi daerah. Pariwisata bukan hanya soal mempromosikan destinasi, memperbaiki infrastruktur, menyiapkan sarana penunjang dan sumber daya manusia. Pariwisata haruslah dikelola secara inklusif bukan parsial. Dinas pariwisata tidak eksklusif menganggap bahwa urusan pariwisata adalah teritorial kerja mereka sehingga input dari berbagai pihak yang seharusnya menjadi mitra hanya dianggap sebagai sumbang saran basa basi. Indikator pencapaian pariwisata bukan hanya diukur dari jumlah kunjungan dan realisasi pendapatan daerah. Terukur bukan saja soal kuantitatif angka semata tetapi juga aspek kualitatif.

Masing-masing pihak memang memiliki perspektif berbeda memandang pengelolaan pariwisata. Aspek positif dari berkembangnya pariwisata daerah harus juga dirasakan oleh masyarakat. Tak bisa dihindari bahwa perasaan memiliki memang menjadi dasar dari pandangan tersebut. Masyarakat merasa bahwa sebagai pemilik “keindahan” mereka seharusnya diuntungkan dengan keberadaan destinasi wisata. Namun terkadang, mereka juga lupa bahwa sebuah destinasi tidak akan bisa dijual tanpa strategi yang tepat. Untuk menjadi sebuah destinasi yang layak dijual, dibutuhkan usaha dan biaya yang tidak sedikit. Kadang pengelola, terlalu berharap banyak kepada pihak lain untuk menuntaskan masalah yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri. Perbaikan sarana dan prasarana dalam area destinasi harus menjadi prioritas jika ingin pengunjung betah dan mendapatkan lebih banyak kunjungan. Pengelolaan destinasi secara profesional sudah menjadi keharusan. Tidak perlu menunggu pihak yang berkepentingan datang untuk membangun WC, sarana pendukung dan menuntaskan masalah sampah di area destinasi. Pengelola seharusnya melihat destinasi bukan hanya sebagai tempatnya mendapatkan uang, tetapi warisan yang akan ditinggalkan. Oleh sebab itu jagalah, perbaikilah, percantiklah namun jangan lupa bahwa memperindah seharusnya tetap menjaga ekosistem alam. Jangan membangun sesuatu yang baik dipandang mata, bagus untuk selfie tetapi malah merusak alam karena ini sering dilakukan oleh pengelola wisata yang hanya berorientasi uang!

Sebagai masyarakat kita juga terkadang terlalu mencari kambing hitam dalam menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Contoh yang paling mudah adalah sampah yang berserakan di destinasi wisata. Dengan gampangnya kita akan menyalahkan pengelola, pemerintah dan pihak-pihak yang dianggap berkepentingan membereskan masalah ini. Padahal, yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa ini milik kita. Jika destinasi dianggap sebagai milik, maka kita tidak akan mengotorinya. Tidak mungkin kita menyampah dirumah sendiri. Kita bisa membuang sampah ditempatnya ketika di rumah, di mall, di hotel dan tempat-tempat yang kita anggap harga diri kita akan jatuh jika meninggalkan sampah sembarangan tetapi kita tidak punya rasa malu ketika membuang bungkus sisa makanan dan minuman di destinasi wisata. Kita menganggap ketika ada yang membuang sampah sembarangan maka kita juga sah dan dibolehkan melakukan hal tersebut. Betapa memalukan!

Era digital merupakan strategi kita dalam memasarkan destinasi. Efek yang dihasilkan lewat media digital empat kali lebih efektif dibandingkan pemasaran konvensional. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin bersemangat dalam mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah lain. Mulai banyak wisatawan mancanegara dan domestik yang berkunjung dan secara tidak langsung ikut mempromosikan pariwisata Maluku melalui media digital terutama media sosial. Dunia luar semakin mengenal Maluku bukan saja sebagai pemilik rempah-rempah yang menyebabkan penjajahan panjang di Indonesia tetapi juga sebagai pemilik destinasi terbaik. Media digital membuat Maluku semakin dekat ke target pasar. Pengelolaan pariwisata yang berbasis digital merupakan keharusan karena perkembangan tekhnologi dan gaya hidup. Peta demografi turis berubah, pengelolaan pariwisata Malukupun harus jeli melihat ini. Jika peluang tidak tercipta, maka peluang harus diciptakan.

Pariwisata di Maluku saya ibaratkan baru siuman dari pingsan panjang. Kita baru sadar dari tidur lelap yang melenakan. Semoga ketika sudah terkumpul semua memori, kita tidak lagi saling menyalahkan atas pengelolaan destinasi yang masih belum maksimal tetapi introspeksi diri. Kita pingsan karena kita tidak peduli, ternyata selama ini… kita sudah salah!

Kamis, 01 Agustus 2013

Sejarah dan Definisi Private Label

perkembangan industri ritel menyebabkan perkembangan private label menjadi fenomena tersendiri sehingga Penelitian tentang private label telah menjadi daya tarik yang substansial terhadap para peneliti dibidang pemasaran selama hampir tiga dekade dan merupakan salah satu strategi pemasaran penting yang dikembangkan oleh pengecer selama tiga puluh tahun terakhir. Sejarah private label mengalami banyak perubahan. Pertama kali hadir pada toko bahan makanan di United State dan dijual pada toko-toko Great Atlantic dan Pacific Tea Company (dikenal kemudian sebagai A&P) yang didirikan pada tahun 1863. Selama satu setengah abad sejumlah produk dengan konsep private label sukses diperkenalkan. Selama resesi ekonomi tahun 1970-an, kehadiran private label dengan harga yang lebih murah, kualitas dasar dan kemasan yang minimal dapat menarik perhatian konsumen (Keller). Banyak definisi untuk mengistilahkan private label, termasuk diantaranya own brand, store brands, house brand, dan retailer brands. Konsep ini sudah lama dikenal di negara-negara Eropa dan sejak tahun 1990 dibanyak negara maju, private label kadang menjadi premium brands yang sejajar bahkan lebih unggul secara kualitas dibandingkan merek milik produsen (Keller). Vahie dan Paswan berpendapat bahwa seperti halnya store atmosphere, servis, kenyamanan dan kehadiran sebuah merek, citra private label juga tergantung pada pengaruh yang kuat dalam persepsi konsumen tentang kualitas produk tersebut. Lincoln & Thomassen: Brands owned and sold by the retailer and distributed by retailer. Levy & Weitz: Products developed and marketed by a retailer and only available for sale by that retailer. Also called store brands Vahie & Paswan: Private label often found exclusively in the store that owns it. ACNielsen: Retailer brands are brands sold under names owned and promoted by retailers. Keller: Products marketed owned by a retailer and other members of the distribution chain. definisi dari masing-masing ahli dapat diartikan sebagai berikut. Menurut Lincoln dan Thomassen, private label didefinisikan sebagai merek yang dimiliki dan dijual serta didistribusikan oleh peritel. Levy dan Weitz mendefinisikan private label sebagai produk yang dikembangkan dan dipasarkan oleh peritel dan hanya tersedia dan dijual oleh peritel. Vahie dan paswan juga mendefinisikan hal yang sama yaitu private label sebagai barang yang secara eksklusif ditemukan hanya pada toko yang menjualnya. Keller mendefinisikan private label sebagai produk yang dipasarkan dan dimiliki oleh peritel dan anggota jaringannya. Sependapat dengan definisi yang lain, ACNielsen dalam Alselmsson dan Johansson menjelaskan private label sebagai merek yang dijual di bawah nama pemilik merek dan dipromosikan oleh peritel dalam toko mereka. Diantara kelima definisi tersebut, Lincoln dan Thomassen serta ACNielsen mendefinisikan private label sebagai merek peritel, sedangkan ketiga definisi yang lain menjelaskan private label sebagai produk milik peritel. Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa (i) private label sebagai merek atau produk yang terdapat pada peritel tertentu, (ii) private label hanya dijual pada toko dan jaringan milik peritel dan, (iii) pemasaran private label sangat tergantung pada peritel.

Senin, 15 Juli 2013

Menjual Pariwisata Di Maluku

Sebuah kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara besar di Dunia yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya alam dan budaya. Ketika berbicara tentang potensi pariwisata Maluku, pikiran kita langsung tertuju pada bentangan laut yang indah, pasir putih dan ombak yang menggulung. Oleh sebab itu, berangkat dari kesadaran akan potensi besar yang dimiliki oleh daerah ini hendaknya pemerintah daerah dan instansi yang berkaitan dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Ekonomi kreatif memiliki rencana dan program yang terarah untuk mempromosikan daerah ini menjadi destinasi wisata. Sebagai Menparekraf, Marie Elka tak henti-hentinya berupaya untuk memajukan pariwisata dan ekonomi kreatif indonesia. Bahkan pada akhir tahun 2012 dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia 2012 beliau menyebarkan virus jalan-jalan melalui foto dan tulisan. Tak dapat dipungkiri bahwa foto dan tulisan tentang keindahan suatu daerah dapat menjadi magnet wisata yang positif. Hal ini mulai berkembang di kalangan anak muda yang mengabadikan perjalan wisata berupa foto dan tulisan di berbagai blog maupun media sosial lainnya. Lewat foto, film pendek atau video, tulisan dan media sosial, beberapa tujuan wisata di daerah-daerah tertentu diangkat dan diulas dengan begitu menarik sehingga menimbulkan efek promosi yang luar biasa dengan biaya promosi yang minim bahkan nyaris tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai kluster dalam industri kreatif, kluster fotografi, film, dan video tak dapat dipisahkan dari kesuksesan sebuah destinasi wisata. Kluster Ekonomi Kreatif Penunjang Pariwisata Inggris, Korea, Italy dan beberapa negara di Dunia merupakan kisah sukses yang mendulang wisatawan lewat industri kreatif. Tak dapat dipungkiri, tokoh James Bond, Mr. Bean dan film-film lainnya yang mengambil setting negara Inggris turut menaikkan jumlah wisatawan ke Negeri Ratu Elizabeth tersebut. Kita mungkin masih belum lupa film Winter Sonata pada tahun 1999. Film ini sangat fenomenal sebagai film serial korea yang banyak menguras air mata dan emosi penonton sehingga berimbas pada pengakuan dunia atas untuk industri perfilman negara tersebut. Bahkan fenomena terakhir yang masih hangat diperbincangkan adalah wabah Gangnam Style dari korea yang menghipnotis hampir seluruh penduduk dunia. Hal ini merupakan sebagian contoh kecil bagaimana kekuatan ekonomi kreatif jika di kemas dan dijual dengan baik, mampu menaikkan ranking dan memperkenalkan sebuah negara dalam waktu singkat. Cerita menarik dari Korea adalah bahwa industri kreatif mampu menyumbang 35 trilyun rupiah pada pendapatan negara tahun 2011. Diyakini bahwa angka tersebut akan lebih tinggi lagi tahun 2012 karena ditunjang juga dengan kluster kreatif lain seperti game dan permainan interaktif. Bahkan saat ini, istilah negara ginseng mulai bergeser menjadi negara dengan icon baru yaitu K-Pop. Istilah baru K-pop seolah menjadi trendsetter bagi generasi muda saat ini. Di indonesia, mulai dari film korea yang laris manis digemari dan dipuja hingga grup musik boyband dan girl band yang dijadikan kiblat banyak pemusik di Indonesia. Apapun yang berbau K-pop dapat dijual dengan laris manis. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membangun citra dan memiliki icon tertentu yang dapat menjadi brand identik sebuah negara. Pemerintah Korea membutuhkan belasan tahun untuk mempersiapkan sumber daya manusia agar dapat menjadi penggerak ekonomi kreatif yang diyakini sebagai industri yang tidak akan goyah walaupun terjadi krisis ekonomi dunia. Mereka menyekolahkan, memberi beasiswa, mendukung dan mensupport semua aktivitas rakyatnya dalam bidang seni. Para pelajar dan pengajar diberi ruang seluas-luasnya untuk menuntut ilmu di negara-negara maju karena diharapkan akan kembali ke tanah air dengan membawa konsep kreatif yang dapat di padu-padankan dengan nilai-nilai lokal daerahnya. Pemerintah korea menyadari jelas keterbatas sumber daya alam yang tidak terbarukan serta minimnya wisata alam sehingga harus segera memiliki sumber devisa lain yang dapat di up grade dan terus dikembangkan serta berpotensi eksport. Hampir semua artis korea memiliki dasar pendidikan yang baik. Rata-rata mereka adalah jebolan universitas dengan gelar S1. Hampir seluruh universitas di Korea memiliki jurusan seni sehingga dalam berkesenian dan berkreativitas, mereka memiliki standar sebelum akhirnya layak untuk di jual sebagai sebuah industri. Kita tentu masih ingat ketika aktris dunia Julia Robert syuting film eat, pray and love di Bali. Film ini makin mengukuhkan citra pariwisata Bali sebagai destinasi wisata berskala dunia. Indonesia semakin dikenal dan Bali lah yang paling diuntungkan karena jumlah turis semakin meningkat setelah film tersebut ditonton jutaan orang. Pulau Nami di Korea menjadi sangat terkenal dan dikunjungi ribuan turis sebagai tempat disyutingnya film Winter Sonata. Padahal dalam kenyataannya, pulau tersebut tidak memiliki daya tarik alam yang bombastis atau luar biasa. Untuk skala nasional, Laskar Pelangi merupakan sebuah novel yang sukses menjadikan pantai Tanjung Tinggi di Bangka Belitung mendulang wisatawan baik dalam negeri maupun wisatawan asing. Ribuan turis tersedot cerita dari sebuah novel yang pada akhirnya di filmkan tentang masa kecil Ikal dan teman-temannya. Hal tersebut membuktikan lagi bahwa industri kreatif jika dikelola dengan baik, mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada pendapatan daerah. Daerah-daerah lain yang sudah lama menjadikan industri kreatif sebagai andalah adalah Bandung dan Jogja. Daerah-daerah ini pada akhirnya memetik hasil yang luar biasa dalam jumlah wisatawan sehingga sering menjadi kiblat industri kreatif di Indonesia maupun tingkat Asia Pasifik. Bahkan Bandung terpilih sebagai contoh kota kreatif se-Asia Pasifik selama empat tahun berturut-turut. Jember merupakan daerah di Indonesia yang mulai melirik kluster kreatif sebagai icon dengan mempresentasikan JFC atau Jember Fashion Carnaval selama tiga tahun belakangan ini. Kegiatan di Jember ini, mulai diikuti oleh Kutai Kertanegara dengan fashion carnaval pada tahun 2012. Bahkan beberapa daerah mulai mencari format yang pas dan sesuai dengan kearifan lokal daerahnya masing-masing dalam membuat sebuah event berskala nasional secara berkala atau rutin sehingga menjadi event tahunan yang memiliki daya tarik wisatawan. Industri kreatif dan pariwisata adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di daerah yang industri kreatifnya menonjol akan berpotensi untuk mendatangkan banyak wisatawan dan demikian juga sebaliknya, daerah-daerah yang memiliki pariwisata yang luar biasa akan berimbas pada perkembangan industri kreatifnya yang luar biasa. Pengelolaan Ekonomi Kreatif Di Indonesia Pada akhirnya, disadari dan tak dapat dipungkiri bahwa kluster kreatif jika di kembangkan dan dikelola dengan serius akan menjadi sumber devisa yang tidak sedikit bagi suatu daerah atau negara. Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025, Ekonomi kreatif sendiri memiliki empat belas kluster yang terbagi atas (1). Advertising dan periklanan, (2) arsitektur, (3) kerajinan, (4) pasar barang seni, (5) desain, (6) fashion, (7) video, film dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9)musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) televisi dan radio, (14) riset dan pengembangan. Dalam konteks kebijakan industri masa kini, negara berkembang sudah tidak mungkin mengandalkan daya saingnya di bidang industri manufaktur dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dalam bentuk biaya tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang melimpah. Keunggulan komparatif tersebut harus diarahkan dalam bentuk daya saing yang diciptakan berdasarkan nilai keunikan faktor historis, geografis, budaya dan keramahan yang tidak mudah ditiru oleh yang lain. Pengetahuan dan kreativitas adalah kunci bagi penciptaan nilai. Industri kreatif menimbulkan harapan bagi ekonomi Indonesia terutama karena sektor ini tidak bergantung pada faktor-faktor produksi konvensional seperti sumber daya alam (yang walaupun berlimpah dimiliki Indonesia tapi jumlahnya makin terbatas dan kurang dikelola dengan baik), sumber daya modal/capital (yang tidak mudah didapatkan saat kondisi ekonomi dunia mengalami kontraksi), ataupun teknologi tinggi (yang membutuhkan waktu panjang dan investasi yang besar). Industri kreatif pun tidak selalu padat tenaga kerja, walupun terdapat sub sektor industri ini yang juga dapat menyerap tenaga kerja besar. Industri kreatif mengandalkan sumber daya insani sebagai modal utamanya, terutama kreativitas, keahlian dan talenta individual yang menjadi tulang punggung industri kreatif. Mengingat banyaknya instansi pemerintah yang terkait dengan berbagai subsektor industri kreatif, diperlukan koordinasi antar instansi. Koordinasi ini memerlukan sebuah institusi yang mampu berkonsentrasi dengan persoalan dalam industri kreatif, sekaligus memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai instansi tersebut . selain itu, mengingat besarnya peran berbagai aktor- tidak hanya pemerintah- dalam industri kreatif untuk tercapainya kesuksesan sinergi antara rencana strategis dan implementasi, maka institusi ini harus merupakan sebuah kolaborasi antara cendekiawan (akademisi dan seni budaya), bisnis (dunia usaha dan creative enterpreneurs), dan pemerintah yang disebut kolaborasi triple helix. Semoga instansi yang berwenang tidak terlambat untuk menemukan format yang tepat untuk menjual keindahan alam Maluku. Pameran, pagelaran budaya dan exhebisi budaya tak akan berarti banyak jika belum memiliki roadmap pariwisata daerah yang jelas dan terukur. Ambon, 04 Mei 2013

Senin, 12 November 2012

Komunitas Sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif Di Bandung

Definisi Komunitas menurut wikipedia adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak". Komunitas yang sangat beragam dan berjumlah sangat banyak menjadi pemicu berkembangnya industri kreatif di kota Bandung. Hal ini agak berbeda dengan Inggris yang memulai industri kreatif dari industri rumahan (home industry). Disamping itu kota Bandung memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap pendatang dan perubahan. Pemerintah kota Bandung saat ini memberikan perhatian yang lebih pada public area. Banyak taman kota yang dikembalikan ke fungsi awal serta menambah fasilitas umum yang menjadi kebutuhan masyarakat kota Bandung. Hal ini sangat penting, karena menurut Richard Florida (2003), faktor tempat merupakan hal yang esensi untuk pertumbuhan industri kreatif. Perkembangan industri kreatif di bandung berawal dari usaha masing-masing anggota komunitas kreatif kemudian menjadi besar dan berkembang dengan baik serta menjadi konsumsi dari masyarakat diluar komunitas. Jumlah komunitas kreatif kota Bandung dari hasil studi yang dilakukan oleh Bappeda Kota Bandung berjumlah 5.291 yang terklasifikasi dalam lima belas jenis industri kreatif (10/12/08). Lima belas jenis industri tersebut adalah (1) Jasa Periklanan, (2) Arsitektur, (3) Pasar barang seni, (4) Kerajinan, (5) Desain (6) Mode/Fesyen, (7) Video, film dan fotografi, (8) Permainan Interaktif, (9) Musik, (10) Seni pertunjukan, (11) Penerbitan dan percetakan, (12) Layanan komputer dan Piranti lunak/software, (13) Televisi dan Radio, (14) Riset dan Pengembangan, (15) Kuliner. Jumlah komunitas yang sangat besar ini menjadi hal menarik karena pada akhirnya, komunitas bukan lagi dianggap sebagai tempat berkumpul karena memiliki satu kesamaan tetapi juga dari komunitas itulah bisnis masing-masing anggota dibangun dan berkembang. Komunitas adalah kekuatan bagi pelaku industri kreatif di kota Bandung. Saat ini terdapat ratusan komunitas kreatif di kota Bandung. Jumlah ini tidak bisa dihitung dengan pasti karena keberadaan anggota komunitas sangat membaur/beririsan satu dengan lainnya.

Kapitalisme Digital dan Relevansi Pemikiran Marx Pendahuluan Kita mengenal Marx sebagai tokoh sosialis. Dalam bukunya Das Capital, Mar...