Kamis, 01 Agustus 2013

Sejarah dan Definisi Private Label

perkembangan industri ritel menyebabkan perkembangan private label menjadi fenomena tersendiri sehingga Penelitian tentang private label telah menjadi daya tarik yang substansial terhadap para peneliti dibidang pemasaran selama hampir tiga dekade dan merupakan salah satu strategi pemasaran penting yang dikembangkan oleh pengecer selama tiga puluh tahun terakhir. Sejarah private label mengalami banyak perubahan. Pertama kali hadir pada toko bahan makanan di United State dan dijual pada toko-toko Great Atlantic dan Pacific Tea Company (dikenal kemudian sebagai A&P) yang didirikan pada tahun 1863. Selama satu setengah abad sejumlah produk dengan konsep private label sukses diperkenalkan. Selama resesi ekonomi tahun 1970-an, kehadiran private label dengan harga yang lebih murah, kualitas dasar dan kemasan yang minimal dapat menarik perhatian konsumen (Keller). Banyak definisi untuk mengistilahkan private label, termasuk diantaranya own brand, store brands, house brand, dan retailer brands. Konsep ini sudah lama dikenal di negara-negara Eropa dan sejak tahun 1990 dibanyak negara maju, private label kadang menjadi premium brands yang sejajar bahkan lebih unggul secara kualitas dibandingkan merek milik produsen (Keller). Vahie dan Paswan berpendapat bahwa seperti halnya store atmosphere, servis, kenyamanan dan kehadiran sebuah merek, citra private label juga tergantung pada pengaruh yang kuat dalam persepsi konsumen tentang kualitas produk tersebut. Lincoln & Thomassen: Brands owned and sold by the retailer and distributed by retailer. Levy & Weitz: Products developed and marketed by a retailer and only available for sale by that retailer. Also called store brands Vahie & Paswan: Private label often found exclusively in the store that owns it. ACNielsen: Retailer brands are brands sold under names owned and promoted by retailers. Keller: Products marketed owned by a retailer and other members of the distribution chain. definisi dari masing-masing ahli dapat diartikan sebagai berikut. Menurut Lincoln dan Thomassen, private label didefinisikan sebagai merek yang dimiliki dan dijual serta didistribusikan oleh peritel. Levy dan Weitz mendefinisikan private label sebagai produk yang dikembangkan dan dipasarkan oleh peritel dan hanya tersedia dan dijual oleh peritel. Vahie dan paswan juga mendefinisikan hal yang sama yaitu private label sebagai barang yang secara eksklusif ditemukan hanya pada toko yang menjualnya. Keller mendefinisikan private label sebagai produk yang dipasarkan dan dimiliki oleh peritel dan anggota jaringannya. Sependapat dengan definisi yang lain, ACNielsen dalam Alselmsson dan Johansson menjelaskan private label sebagai merek yang dijual di bawah nama pemilik merek dan dipromosikan oleh peritel dalam toko mereka. Diantara kelima definisi tersebut, Lincoln dan Thomassen serta ACNielsen mendefinisikan private label sebagai merek peritel, sedangkan ketiga definisi yang lain menjelaskan private label sebagai produk milik peritel. Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa (i) private label sebagai merek atau produk yang terdapat pada peritel tertentu, (ii) private label hanya dijual pada toko dan jaringan milik peritel dan, (iii) pemasaran private label sangat tergantung pada peritel.

Senin, 15 Juli 2013

Menjual Pariwisata Di Maluku

Sebuah kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara besar di Dunia yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya alam dan budaya. Ketika berbicara tentang potensi pariwisata Maluku, pikiran kita langsung tertuju pada bentangan laut yang indah, pasir putih dan ombak yang menggulung. Oleh sebab itu, berangkat dari kesadaran akan potensi besar yang dimiliki oleh daerah ini hendaknya pemerintah daerah dan instansi yang berkaitan dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Ekonomi kreatif memiliki rencana dan program yang terarah untuk mempromosikan daerah ini menjadi destinasi wisata. Sebagai Menparekraf, Marie Elka tak henti-hentinya berupaya untuk memajukan pariwisata dan ekonomi kreatif indonesia. Bahkan pada akhir tahun 2012 dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia 2012 beliau menyebarkan virus jalan-jalan melalui foto dan tulisan. Tak dapat dipungkiri bahwa foto dan tulisan tentang keindahan suatu daerah dapat menjadi magnet wisata yang positif. Hal ini mulai berkembang di kalangan anak muda yang mengabadikan perjalan wisata berupa foto dan tulisan di berbagai blog maupun media sosial lainnya. Lewat foto, film pendek atau video, tulisan dan media sosial, beberapa tujuan wisata di daerah-daerah tertentu diangkat dan diulas dengan begitu menarik sehingga menimbulkan efek promosi yang luar biasa dengan biaya promosi yang minim bahkan nyaris tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai kluster dalam industri kreatif, kluster fotografi, film, dan video tak dapat dipisahkan dari kesuksesan sebuah destinasi wisata. Kluster Ekonomi Kreatif Penunjang Pariwisata Inggris, Korea, Italy dan beberapa negara di Dunia merupakan kisah sukses yang mendulang wisatawan lewat industri kreatif. Tak dapat dipungkiri, tokoh James Bond, Mr. Bean dan film-film lainnya yang mengambil setting negara Inggris turut menaikkan jumlah wisatawan ke Negeri Ratu Elizabeth tersebut. Kita mungkin masih belum lupa film Winter Sonata pada tahun 1999. Film ini sangat fenomenal sebagai film serial korea yang banyak menguras air mata dan emosi penonton sehingga berimbas pada pengakuan dunia atas untuk industri perfilman negara tersebut. Bahkan fenomena terakhir yang masih hangat diperbincangkan adalah wabah Gangnam Style dari korea yang menghipnotis hampir seluruh penduduk dunia. Hal ini merupakan sebagian contoh kecil bagaimana kekuatan ekonomi kreatif jika di kemas dan dijual dengan baik, mampu menaikkan ranking dan memperkenalkan sebuah negara dalam waktu singkat. Cerita menarik dari Korea adalah bahwa industri kreatif mampu menyumbang 35 trilyun rupiah pada pendapatan negara tahun 2011. Diyakini bahwa angka tersebut akan lebih tinggi lagi tahun 2012 karena ditunjang juga dengan kluster kreatif lain seperti game dan permainan interaktif. Bahkan saat ini, istilah negara ginseng mulai bergeser menjadi negara dengan icon baru yaitu K-Pop. Istilah baru K-pop seolah menjadi trendsetter bagi generasi muda saat ini. Di indonesia, mulai dari film korea yang laris manis digemari dan dipuja hingga grup musik boyband dan girl band yang dijadikan kiblat banyak pemusik di Indonesia. Apapun yang berbau K-pop dapat dijual dengan laris manis. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membangun citra dan memiliki icon tertentu yang dapat menjadi brand identik sebuah negara. Pemerintah Korea membutuhkan belasan tahun untuk mempersiapkan sumber daya manusia agar dapat menjadi penggerak ekonomi kreatif yang diyakini sebagai industri yang tidak akan goyah walaupun terjadi krisis ekonomi dunia. Mereka menyekolahkan, memberi beasiswa, mendukung dan mensupport semua aktivitas rakyatnya dalam bidang seni. Para pelajar dan pengajar diberi ruang seluas-luasnya untuk menuntut ilmu di negara-negara maju karena diharapkan akan kembali ke tanah air dengan membawa konsep kreatif yang dapat di padu-padankan dengan nilai-nilai lokal daerahnya. Pemerintah korea menyadari jelas keterbatas sumber daya alam yang tidak terbarukan serta minimnya wisata alam sehingga harus segera memiliki sumber devisa lain yang dapat di up grade dan terus dikembangkan serta berpotensi eksport. Hampir semua artis korea memiliki dasar pendidikan yang baik. Rata-rata mereka adalah jebolan universitas dengan gelar S1. Hampir seluruh universitas di Korea memiliki jurusan seni sehingga dalam berkesenian dan berkreativitas, mereka memiliki standar sebelum akhirnya layak untuk di jual sebagai sebuah industri. Kita tentu masih ingat ketika aktris dunia Julia Robert syuting film eat, pray and love di Bali. Film ini makin mengukuhkan citra pariwisata Bali sebagai destinasi wisata berskala dunia. Indonesia semakin dikenal dan Bali lah yang paling diuntungkan karena jumlah turis semakin meningkat setelah film tersebut ditonton jutaan orang. Pulau Nami di Korea menjadi sangat terkenal dan dikunjungi ribuan turis sebagai tempat disyutingnya film Winter Sonata. Padahal dalam kenyataannya, pulau tersebut tidak memiliki daya tarik alam yang bombastis atau luar biasa. Untuk skala nasional, Laskar Pelangi merupakan sebuah novel yang sukses menjadikan pantai Tanjung Tinggi di Bangka Belitung mendulang wisatawan baik dalam negeri maupun wisatawan asing. Ribuan turis tersedot cerita dari sebuah novel yang pada akhirnya di filmkan tentang masa kecil Ikal dan teman-temannya. Hal tersebut membuktikan lagi bahwa industri kreatif jika dikelola dengan baik, mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada pendapatan daerah. Daerah-daerah lain yang sudah lama menjadikan industri kreatif sebagai andalah adalah Bandung dan Jogja. Daerah-daerah ini pada akhirnya memetik hasil yang luar biasa dalam jumlah wisatawan sehingga sering menjadi kiblat industri kreatif di Indonesia maupun tingkat Asia Pasifik. Bahkan Bandung terpilih sebagai contoh kota kreatif se-Asia Pasifik selama empat tahun berturut-turut. Jember merupakan daerah di Indonesia yang mulai melirik kluster kreatif sebagai icon dengan mempresentasikan JFC atau Jember Fashion Carnaval selama tiga tahun belakangan ini. Kegiatan di Jember ini, mulai diikuti oleh Kutai Kertanegara dengan fashion carnaval pada tahun 2012. Bahkan beberapa daerah mulai mencari format yang pas dan sesuai dengan kearifan lokal daerahnya masing-masing dalam membuat sebuah event berskala nasional secara berkala atau rutin sehingga menjadi event tahunan yang memiliki daya tarik wisatawan. Industri kreatif dan pariwisata adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di daerah yang industri kreatifnya menonjol akan berpotensi untuk mendatangkan banyak wisatawan dan demikian juga sebaliknya, daerah-daerah yang memiliki pariwisata yang luar biasa akan berimbas pada perkembangan industri kreatifnya yang luar biasa. Pengelolaan Ekonomi Kreatif Di Indonesia Pada akhirnya, disadari dan tak dapat dipungkiri bahwa kluster kreatif jika di kembangkan dan dikelola dengan serius akan menjadi sumber devisa yang tidak sedikit bagi suatu daerah atau negara. Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025, Ekonomi kreatif sendiri memiliki empat belas kluster yang terbagi atas (1). Advertising dan periklanan, (2) arsitektur, (3) kerajinan, (4) pasar barang seni, (5) desain, (6) fashion, (7) video, film dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9)musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) televisi dan radio, (14) riset dan pengembangan. Dalam konteks kebijakan industri masa kini, negara berkembang sudah tidak mungkin mengandalkan daya saingnya di bidang industri manufaktur dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dalam bentuk biaya tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang melimpah. Keunggulan komparatif tersebut harus diarahkan dalam bentuk daya saing yang diciptakan berdasarkan nilai keunikan faktor historis, geografis, budaya dan keramahan yang tidak mudah ditiru oleh yang lain. Pengetahuan dan kreativitas adalah kunci bagi penciptaan nilai. Industri kreatif menimbulkan harapan bagi ekonomi Indonesia terutama karena sektor ini tidak bergantung pada faktor-faktor produksi konvensional seperti sumber daya alam (yang walaupun berlimpah dimiliki Indonesia tapi jumlahnya makin terbatas dan kurang dikelola dengan baik), sumber daya modal/capital (yang tidak mudah didapatkan saat kondisi ekonomi dunia mengalami kontraksi), ataupun teknologi tinggi (yang membutuhkan waktu panjang dan investasi yang besar). Industri kreatif pun tidak selalu padat tenaga kerja, walupun terdapat sub sektor industri ini yang juga dapat menyerap tenaga kerja besar. Industri kreatif mengandalkan sumber daya insani sebagai modal utamanya, terutama kreativitas, keahlian dan talenta individual yang menjadi tulang punggung industri kreatif. Mengingat banyaknya instansi pemerintah yang terkait dengan berbagai subsektor industri kreatif, diperlukan koordinasi antar instansi. Koordinasi ini memerlukan sebuah institusi yang mampu berkonsentrasi dengan persoalan dalam industri kreatif, sekaligus memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai instansi tersebut . selain itu, mengingat besarnya peran berbagai aktor- tidak hanya pemerintah- dalam industri kreatif untuk tercapainya kesuksesan sinergi antara rencana strategis dan implementasi, maka institusi ini harus merupakan sebuah kolaborasi antara cendekiawan (akademisi dan seni budaya), bisnis (dunia usaha dan creative enterpreneurs), dan pemerintah yang disebut kolaborasi triple helix. Semoga instansi yang berwenang tidak terlambat untuk menemukan format yang tepat untuk menjual keindahan alam Maluku. Pameran, pagelaran budaya dan exhebisi budaya tak akan berarti banyak jika belum memiliki roadmap pariwisata daerah yang jelas dan terukur. Ambon, 04 Mei 2013

WISATA VIRTUAL KOTA AMBON Semalam saya ikut wisata virtual Kota Ambon yang diadakan salah satu komunitas wisata di Jakarta via Zoom. Bia...