Sabtu, 03 Februari 2018

PARIWISATA MALUKU, SADAR DARI PINGSAN

Pariwisata adalah topik yang sexy. Hal ini terbukti pada Forum Diskusi Bulanan perdana Forum Dosen Indonesia Maluku (FDI) yang diselenggarakan tanggal 02 February 2018. Banyak pihak yang merasa tertarik, berkepentingan dan kurang puas dengan pengelolaan pariwisata Maluku. Banyak tertinggal seharusnya membuat kita rakyat Maluku sadar bahwa selama ini ada potensi luar biasa yang kita pandang sebelah mata. Ada perhiasan alam yang kita anggap biasa karena kita terbiasa.

Berbicara Maluku adalah berbicara suatu daerah yang memiliki semua indikator tentang keindahan ciptaan Tuhan. Dan berbicara tentang pengelolaan pariwisata bukanlah tentang program simsalabim yang dapat merubah peran Maluku menjadi pemain pariwisata tingkat dunia. Butuh berpuluh-puluh tahun dan usaha maksimal dari semua pihak -stakeholder- didaerah ini. Saat ini, bukan lagi zamannya ego sektoral dikedepankan. Semua pihak harus mulai menyadari, memahami dan berkontribusi jika ingin menjadi bagian dari sektor penghasil devisa terbesar nomor dua di Indonesia.

Pemasaran sebuah kota/wilayah saat ini dilakukan sebagai implikasi dari UU otonomi daerah No.32/2004 yang mengarahkan daerah supaya lebih kreatif dalam pengelolaan aset daerah termasuk pariwisata. Setelah era ekonomi digital, arus informasi mengalir deras dan mulai dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran daerah. Dibeberapa daerah, Pariwisata telah ditetapkan menjadi sektor unggulan dan dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan PAD. Tak dapat dipungkiri bahwa, keseriusan dalam mengelola “bisnis kebahagiaan” ini sangat berdampak pada sektor lainnya. Multiply effect yang luar biasa dari sektor pariwisata sangat berpengaruh dalam mengangkat sektor lainnya menggerakkan roda ekonomi daerah. Pariwisata bukan hanya soal mempromosikan destinasi, memperbaiki infrastruktur, menyiapkan sarana penunjang dan sumber daya manusia. Pariwisata haruslah dikelola secara inklusif bukan parsial. Dinas pariwisata tidak eksklusif menganggap bahwa urusan pariwisata adalah teritorial kerja mereka sehingga input dari berbagai pihak yang seharusnya menjadi mitra hanya dianggap sebagai sumbang saran basa basi. Indikator pencapaian pariwisata bukan hanya diukur dari jumlah kunjungan dan realisasi pendapatan daerah. Terukur bukan saja soal kuantitatif angka semata tetapi juga aspek kualitatif.

Masing-masing pihak memang memiliki perspektif berbeda memandang pengelolaan pariwisata. Aspek positif dari berkembangnya pariwisata daerah harus juga dirasakan oleh masyarakat. Tak bisa dihindari bahwa perasaan memiliki memang menjadi dasar dari pandangan tersebut. Masyarakat merasa bahwa sebagai pemilik “keindahan” mereka seharusnya diuntungkan dengan keberadaan destinasi wisata. Namun terkadang, mereka juga lupa bahwa sebuah destinasi tidak akan bisa dijual tanpa strategi yang tepat. Untuk menjadi sebuah destinasi yang layak dijual, dibutuhkan usaha dan biaya yang tidak sedikit. Kadang pengelola, terlalu berharap banyak kepada pihak lain untuk menuntaskan masalah yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri. Perbaikan sarana dan prasarana dalam area destinasi harus menjadi prioritas jika ingin pengunjung betah dan mendapatkan lebih banyak kunjungan. Pengelolaan destinasi secara profesional sudah menjadi keharusan. Tidak perlu menunggu pihak yang berkepentingan datang untuk membangun WC, sarana pendukung dan menuntaskan masalah sampah di area destinasi. Pengelola seharusnya melihat destinasi bukan hanya sebagai tempatnya mendapatkan uang, tetapi warisan yang akan ditinggalkan. Oleh sebab itu jagalah, perbaikilah, percantiklah namun jangan lupa bahwa memperindah seharusnya tetap menjaga ekosistem alam. Jangan membangun sesuatu yang baik dipandang mata, bagus untuk selfie tetapi malah merusak alam karena ini sering dilakukan oleh pengelola wisata yang hanya berorientasi uang!

Sebagai masyarakat kita juga terkadang terlalu mencari kambing hitam dalam menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Contoh yang paling mudah adalah sampah yang berserakan di destinasi wisata. Dengan gampangnya kita akan menyalahkan pengelola, pemerintah dan pihak-pihak yang dianggap berkepentingan membereskan masalah ini. Padahal, yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa ini milik kita. Jika destinasi dianggap sebagai milik, maka kita tidak akan mengotorinya. Tidak mungkin kita menyampah dirumah sendiri. Kita bisa membuang sampah ditempatnya ketika di rumah, di mall, di hotel dan tempat-tempat yang kita anggap harga diri kita akan jatuh jika meninggalkan sampah sembarangan tetapi kita tidak punya rasa malu ketika membuang bungkus sisa makanan dan minuman di destinasi wisata. Kita menganggap ketika ada yang membuang sampah sembarangan maka kita juga sah dan dibolehkan melakukan hal tersebut. Betapa memalukan!

Era digital merupakan strategi kita dalam memasarkan destinasi. Efek yang dihasilkan lewat media digital empat kali lebih efektif dibandingkan pemasaran konvensional. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin bersemangat dalam mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah lain. Mulai banyak wisatawan mancanegara dan domestik yang berkunjung dan secara tidak langsung ikut mempromosikan pariwisata Maluku melalui media digital terutama media sosial. Dunia luar semakin mengenal Maluku bukan saja sebagai pemilik rempah-rempah yang menyebabkan penjajahan panjang di Indonesia tetapi juga sebagai pemilik destinasi terbaik. Media digital membuat Maluku semakin dekat ke target pasar. Pengelolaan pariwisata yang berbasis digital merupakan keharusan karena perkembangan tekhnologi dan gaya hidup. Peta demografi turis berubah, pengelolaan pariwisata Malukupun harus jeli melihat ini. Jika peluang tidak tercipta, maka peluang harus diciptakan.

Pariwisata di Maluku saya ibaratkan baru siuman dari pingsan panjang. Kita baru sadar dari tidur lelap yang melenakan. Semoga ketika sudah terkumpul semua memori, kita tidak lagi saling menyalahkan atas pengelolaan destinasi yang masih belum maksimal tetapi introspeksi diri. Kita pingsan karena kita tidak peduli, ternyata selama ini… kita sudah salah!

WISATA VIRTUAL KOTA AMBON Semalam saya ikut wisata virtual Kota Ambon yang diadakan salah satu komunitas wisata di Jakarta via Zoom. Bia...