Senin, 07 September 2009

Dari Seorang Waitress Menjadi CEO Terkemuka


Ketika membaca kisah tentang seorang wanita hebat bernama Brenda C. Barnes, saya terinsirasi untuk sharing tulisan ini.

Wanita sukses ini berpendapat bahwa sukses tidak bisa diraih dengan cuma-cuma. Sebuah kesuksesan memang harus diperjuangkan. Orang yang berjuang untuk sukses akan menyadari bahwa proses perjuangan untuk mencapai kesuksesan jauh lebih berat dan ketika kesuksesan itu diraihnya, ia akan mempertahankannya dengan lebih baik dibandingkan orang yang mendapatkan kesuksesan karena faktor lainnya.

Brenda dibesarkan dari keluarga sederhana di Chicago yang menanamkan nilai-nilai kerja keras, rendah hati, mendengarkan pendapat orang dan sikap hidup positif lainnya. Selain itu, pendidikan adalah hal penting yang ditekankan oleh orang tuanya. Pada tahun 1975, ia meraih gelar undergraduate-nya di bidang bisnis dan ekonomi dari Rockford, Illinois Augustana College. Setelah lulus, tak banyak peluang kerja yang bisa didapatkan. Alhasil, sambil mencari prospek pekerjaan yang lebih menarik, Barnes pun rela melakukan pekerjaan apa saja. Mulai menjadi waitress, penyortir surat di kantor pos, dan penjual pakaian.
Dari sana, Barnes akhirnya bisa mengawali karier profesionalnya di Pepsi Co Inc pada 1976 saat ditunjuk sebagai manajer bisnis di Wilson Sporting Goods, satu dari beberapa anak perusahaan Pepsi. Tak mudah menjalankan pekerjaannya karena diskriminasi gender masih sangat kental waktu itu, Barnes berjuang keras untuk berkompetisi dengan kebanyakan karyawan laki-laki. Kerja keras Barnes membuahkan hasil saat dia sukses menduduki jabatan sebagai kepala penjualan. Seiring karier yang mulai menanjak, Barnes pun meneruskan pendidikannya. Dia kemudian menempuh pendidikan di Loyola University. Dari sana, dia berhasil meraih gelar MBA pada 1978. Selepas meraih gelar MBA-nya, karier Barnes tambah cemerlang. Pada 1981, dia dipindah ke anak perusahaan Pepsi lainnya, Frito-Lay.
Di sana dia ditunjuk sebagai wakil direktur pemasaran. Hanya bertahan tiga tahun, Barnes di pindah lagi ke Pepsi pusat. Pada 1988 Barnes diangkat menjadi wakil presiden penjualan nasional dan pemasaran Pepsi. Pada Januari 1992, Barnes diangkat sebagai Presiden Pepsi-Cola South. Di jabatan barunya ini, dia bertanggung jawab mengontrol semua kegiatan manufaktur, penjualan, dan distribusi produk Pepsi di 13 negara yang berada di wilayah selatan Amerika. Loncatan karier Barnes mencapai puncaknya di Pepsi pada 1996 saat ditunjuk sebagai Presiden dan CEO Pepsi-Cola Amerika Utara.Di bawah kepemimpinan Barnes, Pepsi-Cola Amerika Utara sukses meraih penjualan dan keuntungan besar. Barnes dikenal sebagai pemimpin yang mampu membangun identitas merek dagangnya. Pada 1996, perusahaan meraih penjualan USD7,73 miliar dan meraup untung hingga USD1,43 miliar.

Namun, di puncak kesuksesannya tersebut, sebuah keputusan mengejutkan justru dibuat Barnes. Setelah mengingatkan pemimpin perusahaannya bahwa jabatannya di pos tersebut kemungkinan tak akan bertahan lama, dia mengundurkan diri pada 1997 dan secara resmi meninggalkan Pepsi pada akhir tahun. Alasan pengunduran diri Barnes dari perusahaan yang telah dibelanya selama 22 tahun saat itu begitu sederhana, dia hanya ingin memiliki lebih banyak waktu dengan ketiga anaknya yang masih kecil, Jeff, Erin, dan Brian serta suaminya Randall Barness yang juga seorang eksekutif.
Saat menjabat di posisi terakhirnya di Pepsi, Barnes bekerja selama 70 jam dalam seminggu. Dia rata-rata bekerja hingga pukul 03.30 pagi. Pekerjaannya begitu menyita waktu. Belum lagi, dia juga kerap kali harus melakoni perjalanan bisnis.
"Tak ada alasan yang sangat penting yang membuat saya mengambil keputusan itu. Saya hanya tak memiliki banyak waktu bagi keluarga. Saya hanya punya sedikit sekali waktu dengan mereka dan suami saya. Saya hanya ingin mencurahkan 100% waktu saya untuk mereka," terang Barnes mengungkapkan alasan pengunduran dirinya.
Barnes mengakui, sehebat apa pun dia, tetap saja tidak akan mampu memperoleh dua hal sekaligus, yakni pekerjaannya di Pepsi dan keluarganya. Mundurnya Barnes, membuat Pepsi kehilangan. Melalui beragam cara, Pepsi menawarinya untuk kembali lagi dengan beberapa penawaran menarik, seperti dengan jadwal kerja yang lebih fleksibel, mengabaikan absensi, sedikit tanggung jawab, dan lain sebagainya. Tapi, Barnes berkeras menolak. Keputusan menolak tawaran tersebut mengejutkan banyak perusahaan di Amerika. Tapi, dari sana, perusahaan-perusahaan di Amerika mulai tersadar untuk mengubah budaya perusahaan. Dari hanya sekadar mementingkan urusan pekerjaan, perusahaan di Negri Paman Sam itu mulai terbuka untuk mengakomodasi kepentingan pribadi, termasuk keluarga, dari individu-individu yang ada di dalamnya.
Perusahaan jadi arif dengan menerapkan keseimbangan karier dan kehidupan pribadi para karyawannya. Setelah tak lagi disibukkan dengan rutinitas kerja, Barnes menghabiskan waktunya dengan keluarga. Tidak hanya itu, dia juga belajar hal lain yang selama ini luput dia kuasai, memasak, meningkatkan keahlian komputernya, dan kegiatan positif lain. Pendeknya, Barnes seakan menjalani kehidupan lain dari yang selama ini digelutinya.
Tapi, entah memang pada dasarnya seorang wanita yang seolah memang ditakdirkan untuk menjadi seorang wanita karier, pada 2004 Barnes kembali ke dunia bisnis saat direkrut perusahaan manufaktur yang berbasis di Chicago, Sara Lee. Tapi, di tempat barunya ini, Barnes tak perlu berlama-lama meniti karir ke puncak. Tak lama berkiprah di sana, pada Februari 2005, Barnes dipromosikan menjadi Presiden dan CEO Sara Lee. Prestasi dan kemampuan yang telah dipupuk sebelumnya serta merta diakui di tempat barunya. Barnes pun langsung membuktikan kemampuannya. Dia langsung mengadakan perubahan besar sesaat setelah menduduki jabatannya. Salah satunya adalah dengan membuat Sara Lee fokus kepada bisnis makanan, minuman, kebutuhan rumah tangga, dan perawatan tubuh. Bisnis sandang yang juga sejak lama digeluti Sara Lee dihilangkan saat kepemimpinan Barnes.
Awalnya, penjualan atau spin off bisnis sandang agar Sara Lee lebih fokus ke bisnis barang-barang konsumsi disambut negatif pelaku pasar dan pengamat. Barnes mengaku, saat itu adalah waktu-waktu terberatnya di Sara Lee. Namun, perubahan besar yang dilakukannya pada akhirnya memberikan efek positif. Produk-produk andalan Sara Lee seperti, Ambi Pur, Jimmy Dean, Kiwi, Sanex, termasuk roti Sara Lee kini mampu menguasai pasar Eropa dan juga Asia. Sara Lee pun berkembang pesat menjadi perusahaan barangbarang konsumsi terkemuka.
"Saya hanya ingin menunjukkan bahwa perempuan pun bisa memimpin perusahaan dengan baik," ujar Barnes.(Dikutip dari Koran SI/Koran SI/jri).

Rabu, 19 Agustus 2009

Ritel di Indonesia


Perkembangan industri ritel di Indonesia kini semakin semarak dengan kehadiran peritel modern yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan industri ritel tanah air. Dalam jangka waktu yang singkat, beberapa pelaku usaha ritel modern dengan kemampuan kapital yang luar biasa menghadirkan minimarket, supermarket bahkan hipermarket yang kini bertebaran di setiap kota besar di Indonesia.

Sejak pemberlakuan deregulasi industri ritel pada tahun 1998, jumlah minimarket, supermarket dan hipermarket, atau yang biasa disebut dengan pasar modern di Indonesia kian bertambah. Ritel asing merasa sah untuk masuk ke Indonesia karena telah ditandatanganinya letter of intent dengan IMF pada bulan januari 1998, yang salah satu butir pentingnya adalah mencabut larangan investor asing untuk menanamkan modalnya di sektor perdagangan besar dan ritel di Indonesia. Hal tersebut makin diperkuat dengan Keppres 118 tahun 2000 yang makin membuka peluang bagi ritel asing untuk berusaha sebebas-bebasnya.

Peningkatan ini terbukti dengan makin lajunya pertumbuhan pasar modern selama 2004 hingga 2007. Pertumbuhan supermarket mencapai 50% pertahun dan pada periode yang sama, hipermarket bahkan mencapai 70% pertahun.

Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi bangsa. Begitu luasnya industri ritel ini sehingga sektor ritel memberikan kontribusi 75% terhadap total perdagangan nasional dan dalam sebuah klaimnya, Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) yang selama ini banyak mewakili kepentingan peritel modern menyatakan bahwa sektor ritel merupakan sektor kedua yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar 18,9 juta orang di bawah sektor pertanian yang mencapai 41,8 juta orang.

Pertumbuhan yang pesat ini membuat gerah pelaku ekonomi tradisional. Menurut catatan, ada sembilan pasar tradisional yang tutup karena gempuran kapital raksasa seperti Carrefour, Giant dan Hypermart. Belumlagi ditambah dengan supermarket dan minimarket yang tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Setelah terjadi dampak karena pertumbuhan mall dan ritel yang luar biasa ini, barulah pemerintah mulai berpikir untuk membatasi jumlah mall dan hipermarket. Pemerintah akan mengkaji kebijakan agar jumlah mall sebanding dengan rasio penduduk daerah seputar mall tersebut. Padahal jauh sebelum itu KPPU telah memperingatkan pemerintah akan dampak yang ditimbulkan oleh ekspansi peritel besar. Apakah kita harus menunggu sampai semua pasar tradional tutup dan peritel bangkit sebagai raksasa monopoli barulah kita sadar??? Apakah tidak terlambat jika seperti itu???

WISATA VIRTUAL KOTA AMBON Semalam saya ikut wisata virtual Kota Ambon yang diadakan salah satu komunitas wisata di Jakarta via Zoom. Bia...