Rabu, 13 Juni 2018

Catatan Kecil Untuk Pariwisata Maluku

Beberapa waktu belakangan ini, sering ngumpul dengan teman-teman komunitas yang concern dengan pariwisata. Mereka berkunjung ke tempat-tempat keren di Indonesia, mereka melihat, mereka mengamati, mereka membandingkan dan mereka mengambil kesimpulan kalau negeri Maluku ini jauh lebih indah. Semuanya berawal dari keresahan mereka terhadap kondisi pariwisata di Maluku. Tidak hanya resah, mereka memutuskan bertindak. Niat mereka baik, luar biasa, bergelora. Keresahan yang wajar dan memang sudah seharusnya. Keresahan yang menjadi pemantik. Berharap suatu saat api semangat mereka membakar negeri para raja ini.

Alasan Klasik

Membangun sektor pariwisata bukanlah pekerjaan sulap satu dua tahun simsalabim. Bahkan untuk satu periode kepemimpinan kepala daerah mungkin belum cukup untuk membenahi seluruh permasalahan di sektor yang multi kompleks ini. Sektor ini roadmapnya jangka panjang. Banyak hal yang perlu dilakukan bersamaan antar instansi, antar sektor, antar kepentingan. Sektor ini butuh koordinasi dari hulu ke hilir, bawah ke atas, kanan ke kiri. Banyak yang berharap pada Dinas. Dinas berharap pada anggaran (selalu seperti itu). Anggaran menjadi alasan klasik setiap ditanya kenapa kita tertinggal. Masyarakat memiliki harapan yang sangat besar dan pemerintah belum memberikan solusi terbaik. Ketika berbicara tentang peran dalam sektor pariwisata, maka pemerintah memegang peranan yang krusial. Sebagai regulator dan fasilitator, sektor ini seharusnya menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Pemerintah daerah bukannya tidak berbuat apa-apa. Strategi pemasaran pariwisata sudah dilakukan. Promosi sudah dijalankan dengan baik, event wisata pun sudah puluhan yang diselenggarakan, pemeran dan eksebisi tiap tahun di luar negeri. Dengan upaya yang sudah maksimal seperti itu seharusnya jumlah wisatawan meningkat setiap tahun. Kenyataannya kunjungan wisatawan makin hari makin menurun. Ada yang salah? Ya mungkin saja…. Instrospeksi? Nanti dulu… mindsetnya selama ini adalah anggaran masih dianggap sebagai faktor utama penggerak sektor pariwisata. Selama anggaran masih belum naik yaaa pengelolaan pariwisata akan kurang maksimal (ngeleess) 

Efektifitas Event Wisata

Maluku ini indah. Begitu yang selalu dibilang orang. Untuk mengenalkan keindahannya kita harus mempromosikan destinasi ini agar lebih dikenal orang dan bersedia untuk berkunjung. Salah satu bentuk promosi Maluku adalah melalui event berskala daerah, nasional bahkan internasional. Selama ini, Dinas Pariwisata mengeluarkan calender of event yang berisi puluhan event yang akan dilaksanakan selama setahun. Hampir keseluruhan event telah dilaksanakan bertahun-tahun sebagai event reguler. Tahun 2018 terdapat 23 event yang akan diselenggarakan di Maluku. Itu baru event wisata, belum termasuk event MICE dan seremonial-seremonial lainnya. Banyak penelitian tentang efektifitas event. ada yang mengukur secara jangka pendek, namun Dimanche, Holmes dan Shamsuddin lebih setuju jika efektifitasnya diukur dalam jangka panjang. Saat ini, event yang dilaksanakan sudah lebih dari lima tahun seharusnya efektifitas event sudah dapat diukur. Anggaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jangan ditanya. Efektifkah? Entahlah, mungkin yang menjadi catatan adalah indikator keberhasilan event. Apakah indikatornya hanya sekedar “terselenggara” dan “selesai” dengan baik (aman). Adakah review setelah event? Pasti ada… indikatornya apa? Banyaknya peserta? Banyaknya tamu? Banyaknya artis yang didatangkan? Banyaknya anggaran yang dikeluarkan? Banyaknya review pada google? Banyaknya word of mouth? Tingginya loyalitas? Entahlah… saya bertanya, siapa yang nanti menjawab? 

Kerjasama Pentahelix

Ada kata pamungkas dalam pariwisata yaitu “pentahelix”. Terdiri dari lima unsur yaitu pemerintah, bisnis, akademisi, komunitas dan media. Jika kelima unsur ini bersinergi maka pariwisata Maluku yang maju akan dengan mudah dicapai. Kenyataannya? Sinergitas kelima unsur ini seperti air dan minyak. Ada yang merasa superior dibandingkan yang lain. Ada yang merasa sudah bekerja maksimal dibandingkan yang lain, ada yang berpendapat kalau yang lain hanya berwacana, ada pula yang menilai salah satu unsur hanyalah jago teori, ada yang egois dan menuntut terlalu banyak. Semuanya pernah duduk bersama tetapi mungkin masih belum saling terbuka. Kelima unsur terkait ini butuh lebih dari chemistry, tetapi perasaan saling membutuhkan satu sama lain. Perasaan terikat bahwa satu adalah bagian dari yang lain. Siapa yang harus memulai? Pemerintah daerah sesuai fungsinya haruslah memfasilitasi, merangkul, mensupport, meminta masukan, terbuka akan saran dan saling mengisi dengan keempat unsur lainnya. Jika egosentris berkembang maka akan sulit mencari solusi terhadap permasalahan pariwisata yang kian kompleks. Daerah lain sudah berlari jauh dan kita masih saling sibuk tepuk dada merasa paling punya hajat.

Strategi Pemasaran Pariwisata Maluku

Jelaslah bahwa pemasaran destinasi tidak sama dengan pemasaran produk ataupun jasa. pemasaran destinasi lebih kompleks dan berhubungan dengan lebih banyak pihak ketiga. Ada banyak kepentingan dan stake holder yang terlibat di dalamnya. Apakah strategi pemasaran semakin baik setiap tahun? Jika memang iya, apakah jumlah wisatawan meningkat? Jika terjadi anomali, apakah sudah direvisi strategi yang dilakukan selama ini? Banyak support untuk apa yang sudah dilakukan selama ini. Selain ikut pameran hingga diluar negeri, eksebisi hingga eropa, promosi hingga mancanegara… Saat ini masyarakat menyorot hal-hal kecil sebagai bentuk kepedulian. Kenapa berpromosi hingga Belanda jika negara yang didatangi jumlah turisnya sangat sedikit? Jikapun datang ke Maluku, bukan karena faktor pemilihan Maluku sebagai destinasi favorit tetapi sebagai daerah yang memiliki ikatan sejarah serta emosional. Sudahkan pemerintah daerah melihat data terbaru tentang jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia? Dari negara manakah yang terbanyak? Sudahkan disegmentasikan? Sudahkan membangun hub antar destinasi?. JIka selama ini melakukan benchmarking apakah sudah apple to apple? jangan-jangan studi bandingnya apple ke pineapple (kidding :)) Selain itu, jangan anggap sepele keingintahuan masyarakat yang kritis terhadap delegasi yang diboyong keluar negeri. Kriteria terpilih mewakili Maluku itu apa? Sudahkan dinas pariwisata memaparkan dengan jelas sehingga tidak terjadi kecurigaan karena yang berangkat itu lagi-itu lagi. Jika semuanya jelas, terang benderang maka masyarakat akan memaklumi setiap kebijakan terkait hal ini.

(Bersambung…) Ambon, 13 Juni 2018.

Sabtu, 03 Februari 2018

PARIWISATA MALUKU, SADAR DARI PINGSAN

Pariwisata adalah topik yang sexy. Hal ini terbukti pada Forum Diskusi Bulanan perdana Forum Dosen Indonesia Maluku (FDI) yang diselenggarakan tanggal 02 February 2018. Banyak pihak yang merasa tertarik, berkepentingan dan kurang puas dengan pengelolaan pariwisata Maluku. Banyak tertinggal seharusnya membuat kita rakyat Maluku sadar bahwa selama ini ada potensi luar biasa yang kita pandang sebelah mata. Ada perhiasan alam yang kita anggap biasa karena kita terbiasa.

Berbicara Maluku adalah berbicara suatu daerah yang memiliki semua indikator tentang keindahan ciptaan Tuhan. Dan berbicara tentang pengelolaan pariwisata bukanlah tentang program simsalabim yang dapat merubah peran Maluku menjadi pemain pariwisata tingkat dunia. Butuh berpuluh-puluh tahun dan usaha maksimal dari semua pihak -stakeholder- didaerah ini. Saat ini, bukan lagi zamannya ego sektoral dikedepankan. Semua pihak harus mulai menyadari, memahami dan berkontribusi jika ingin menjadi bagian dari sektor penghasil devisa terbesar nomor dua di Indonesia.

Pemasaran sebuah kota/wilayah saat ini dilakukan sebagai implikasi dari UU otonomi daerah No.32/2004 yang mengarahkan daerah supaya lebih kreatif dalam pengelolaan aset daerah termasuk pariwisata. Setelah era ekonomi digital, arus informasi mengalir deras dan mulai dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran daerah. Dibeberapa daerah, Pariwisata telah ditetapkan menjadi sektor unggulan dan dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan PAD. Tak dapat dipungkiri bahwa, keseriusan dalam mengelola “bisnis kebahagiaan” ini sangat berdampak pada sektor lainnya. Multiply effect yang luar biasa dari sektor pariwisata sangat berpengaruh dalam mengangkat sektor lainnya menggerakkan roda ekonomi daerah. Pariwisata bukan hanya soal mempromosikan destinasi, memperbaiki infrastruktur, menyiapkan sarana penunjang dan sumber daya manusia. Pariwisata haruslah dikelola secara inklusif bukan parsial. Dinas pariwisata tidak eksklusif menganggap bahwa urusan pariwisata adalah teritorial kerja mereka sehingga input dari berbagai pihak yang seharusnya menjadi mitra hanya dianggap sebagai sumbang saran basa basi. Indikator pencapaian pariwisata bukan hanya diukur dari jumlah kunjungan dan realisasi pendapatan daerah. Terukur bukan saja soal kuantitatif angka semata tetapi juga aspek kualitatif.

Masing-masing pihak memang memiliki perspektif berbeda memandang pengelolaan pariwisata. Aspek positif dari berkembangnya pariwisata daerah harus juga dirasakan oleh masyarakat. Tak bisa dihindari bahwa perasaan memiliki memang menjadi dasar dari pandangan tersebut. Masyarakat merasa bahwa sebagai pemilik “keindahan” mereka seharusnya diuntungkan dengan keberadaan destinasi wisata. Namun terkadang, mereka juga lupa bahwa sebuah destinasi tidak akan bisa dijual tanpa strategi yang tepat. Untuk menjadi sebuah destinasi yang layak dijual, dibutuhkan usaha dan biaya yang tidak sedikit. Kadang pengelola, terlalu berharap banyak kepada pihak lain untuk menuntaskan masalah yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri. Perbaikan sarana dan prasarana dalam area destinasi harus menjadi prioritas jika ingin pengunjung betah dan mendapatkan lebih banyak kunjungan. Pengelolaan destinasi secara profesional sudah menjadi keharusan. Tidak perlu menunggu pihak yang berkepentingan datang untuk membangun WC, sarana pendukung dan menuntaskan masalah sampah di area destinasi. Pengelola seharusnya melihat destinasi bukan hanya sebagai tempatnya mendapatkan uang, tetapi warisan yang akan ditinggalkan. Oleh sebab itu jagalah, perbaikilah, percantiklah namun jangan lupa bahwa memperindah seharusnya tetap menjaga ekosistem alam. Jangan membangun sesuatu yang baik dipandang mata, bagus untuk selfie tetapi malah merusak alam karena ini sering dilakukan oleh pengelola wisata yang hanya berorientasi uang!

Sebagai masyarakat kita juga terkadang terlalu mencari kambing hitam dalam menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Contoh yang paling mudah adalah sampah yang berserakan di destinasi wisata. Dengan gampangnya kita akan menyalahkan pengelola, pemerintah dan pihak-pihak yang dianggap berkepentingan membereskan masalah ini. Padahal, yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa ini milik kita. Jika destinasi dianggap sebagai milik, maka kita tidak akan mengotorinya. Tidak mungkin kita menyampah dirumah sendiri. Kita bisa membuang sampah ditempatnya ketika di rumah, di mall, di hotel dan tempat-tempat yang kita anggap harga diri kita akan jatuh jika meninggalkan sampah sembarangan tetapi kita tidak punya rasa malu ketika membuang bungkus sisa makanan dan minuman di destinasi wisata. Kita menganggap ketika ada yang membuang sampah sembarangan maka kita juga sah dan dibolehkan melakukan hal tersebut. Betapa memalukan!

Era digital merupakan strategi kita dalam memasarkan destinasi. Efek yang dihasilkan lewat media digital empat kali lebih efektif dibandingkan pemasaran konvensional. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin bersemangat dalam mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah lain. Mulai banyak wisatawan mancanegara dan domestik yang berkunjung dan secara tidak langsung ikut mempromosikan pariwisata Maluku melalui media digital terutama media sosial. Dunia luar semakin mengenal Maluku bukan saja sebagai pemilik rempah-rempah yang menyebabkan penjajahan panjang di Indonesia tetapi juga sebagai pemilik destinasi terbaik. Media digital membuat Maluku semakin dekat ke target pasar. Pengelolaan pariwisata yang berbasis digital merupakan keharusan karena perkembangan tekhnologi dan gaya hidup. Peta demografi turis berubah, pengelolaan pariwisata Malukupun harus jeli melihat ini. Jika peluang tidak tercipta, maka peluang harus diciptakan.

Pariwisata di Maluku saya ibaratkan baru siuman dari pingsan panjang. Kita baru sadar dari tidur lelap yang melenakan. Semoga ketika sudah terkumpul semua memori, kita tidak lagi saling menyalahkan atas pengelolaan destinasi yang masih belum maksimal tetapi introspeksi diri. Kita pingsan karena kita tidak peduli, ternyata selama ini… kita sudah salah!

WISATA VIRTUAL KOTA AMBON Semalam saya ikut wisata virtual Kota Ambon yang diadakan salah satu komunitas wisata di Jakarta via Zoom. Bia...